Minggu, 08 Januari 2017

Hai! Namamu Rindu kan?


"Kamu datang walau isi kepalaku menghalang. Mampir di sela apapun yang tak kuduga. Aku bisa apa? Hei, Kamu! Namamu rindu bukan? Jika iya, jangan datang lagi. Sebab namaku sepi. Sesepi layar putih temuan Bill Gates yang sudah 47 menit kutatap. Aku mencoba mengeja huruf di sana, tapi kesusahan memadunya menjadi kata. Sebab lagi-lagi cuma kamu yang tereja. Rindu. Bagaimanalah.. Logikaku mulai kewalahan memenjarakanmu. Ah, rindu, berdamailah sedikit dengan rasa. "


Aku akan mengingatnya sebagai kamu. Pada hari yang sulit dilupa. Pada saat dada tak sempat kabarkan rasa. Kau hadir sebagai tanya, akankah menjadi debar atau sabar yang musti tumbuh pada ilalang kalbu. Dan itu adalah hari yang gamang, saat pikiranku mengembara dari ufuk ke ufuk. Lalu perasaanku mengembara dari sungai ke sungai, hantarkan deras air mata menuju gagap kata.

Saat itulah aku menuju kamu dengan doa sebagai sampannya. Aku berdoa, denganmu, aku menikmati senja bermula pagi sampai Tuhan tak lagi ciptakan hari. Maka biarlah lalu lalang suasana sekitar berhenti sejenak mengenang pertemuan kita.

Denganmu, aku jalani hari. Seperti daun kepada ranting , penuh percaya akan terjaga sampai akhirnya angin datang menggugurkan.

Denganmu, aku berdoa. Pada jarak tak berjejak, aku hikmat, semoga denganmu aku kelak. Semua berjalan malu-malu, dan kita anggap sebagai sebuah bagian yang perlu.

Denganmu, aku biarkan hujan turun tanpa ragu. Mengawali gerimis atau mengakhiri dengan pelangi manis. Dan biarkan burung-burung bercanda bernyanyi pada aku yang sepi dan kamu yang sunyi. Selanjutnya, biarkan pohon meneduhkan burung itu bersenandung lirih. Karena berteduh hanyalah merekam peristiwa, dan cintalah yang menentukan arah selanjutnya.

Denganmu, aku tahu jalan menuju surga. Pada sepetak tanah yang kelak akan dibangun istana kita. Kita akan bermanja pada dipan kayu berusia muda.

Denganmu, aku menangis tanpa air mata. Seperti api yang bersedih pada sebatang korek. Hidupnya adalah matinya.

Denganmu, aku mungkin kelak akan menggarami luka seperti seorang istri yang memberi kaldu pada sayur untuk makan suaminya. Segala duka adalah gembira. Berbagi cerita adalah surga. Apalagi luka, denganmu hanyalah lambaian angin senja.

Denganmu, aku menulis puisi sampai aku mengerti bahwa tulisanku hanyalah menjadi arti, berbentuk puisi bahkan bisa kupahami hanya denganmu.

Denganmu, aku ingin mencintai tanpa alasan. Karena alasan adalah binatang buas yang sewaktu-waktu bisa menerkam untuk aku tak denganmu.

Dan akhirnya, hanya denganmu, aku ingin membiarkan diriku menikmati hari tua. Kiranya nafasku hanya bersisa satu hela, telah kutitipkan satu nafasku untukmu. 

Denganmu, aku selalu bermula. Selain denganmu, aku tak pernah sebaik ini dalam menjaga sebuah hati. Dan cerita ini enggan aku akhiri. Mungkin akan ber-episode jika kuturuti untuk meneruskannya. Mungkin, suatu saat juga, denganmu aku akan menulis beruda mengisahkan kisah kita dengan dibumbui dramatisasi yang mendayu-dayu agar membuat pembacanya merasakan sesak di dada bahkan menangis saat menahan rindu tapi tak ada yang bisa dilakukan selain mendoakan. Seperti yang aku alami saat aku mengetik setiap huruf yang menjadi kata kemudian kalimat lalu paragraf.

Pada hari yang biasa, aku telah selesai berdoa. Baiknya kulukis lingkaran kecil dari rangkaian namamu dan namaku yang akan aku sebut kita. Sepakat??


Tidak ada komentar:

Posting Komentar