"Kamu datang walau isi kepalaku
menghalang. Mampir di sela apapun yang tak kuduga. Aku bisa apa? Hei, Kamu!
Namamu rindu bukan? Jika iya, jangan datang lagi. Sebab namaku sepi. Sesepi
layar putih temuan Bill Gates yang sudah 47 menit kutatap. Aku mencoba mengeja
huruf di sana, tapi kesusahan memadunya menjadi kata. Sebab lagi-lagi cuma kamu
yang tereja. Rindu. Bagaimanalah.. Logikaku mulai kewalahan memenjarakanmu. Ah,
rindu, berdamailah sedikit dengan rasa. "
Aku akan mengingatnya sebagai kamu. Pada hari
yang sulit dilupa. Pada saat dada tak sempat kabarkan rasa. Kau hadir sebagai
tanya, akankah menjadi debar atau sabar yang musti tumbuh pada ilalang kalbu.
Dan itu adalah hari yang gamang, saat pikiranku mengembara dari ufuk ke ufuk.
Lalu perasaanku mengembara dari sungai ke sungai, hantarkan deras air mata
menuju gagap kata.
Saat itulah aku menuju kamu dengan doa sebagai
sampannya. Aku berdoa, denganmu, aku menikmati senja bermula pagi sampai Tuhan
tak lagi ciptakan hari. Maka biarlah lalu lalang suasana sekitar berhenti
sejenak mengenang pertemuan kita.
Denganmu, aku jalani hari. Seperti daun kepada
ranting , penuh percaya akan terjaga sampai akhirnya angin datang menggugurkan.
Denganmu, aku berdoa. Pada jarak tak berjejak,
aku hikmat, semoga denganmu aku kelak. Semua berjalan malu-malu, dan kita
anggap sebagai sebuah bagian yang perlu.
Denganmu, aku biarkan hujan turun tanpa ragu.
Mengawali gerimis atau mengakhiri dengan pelangi manis. Dan biarkan
burung-burung bercanda bernyanyi pada aku yang sepi dan kamu yang sunyi. Selanjutnya,
biarkan pohon meneduhkan burung itu bersenandung lirih. Karena berteduh
hanyalah merekam peristiwa, dan cintalah yang menentukan arah selanjutnya.
Denganmu, aku tahu jalan menuju surga. Pada
sepetak tanah yang kelak akan dibangun istana kita. Kita akan bermanja pada
dipan kayu berusia muda.
Denganmu, aku menangis tanpa air mata.
Seperti api yang bersedih pada sebatang korek. Hidupnya adalah matinya.
Denganmu, aku mungkin kelak akan menggarami
luka seperti seorang istri yang memberi kaldu pada sayur untuk makan suaminya.
Segala duka adalah gembira. Berbagi cerita adalah surga. Apalagi luka, denganmu
hanyalah lambaian angin senja.
Denganmu, aku menulis puisi sampai aku
mengerti bahwa tulisanku hanyalah menjadi arti, berbentuk puisi bahkan bisa kupahami
hanya denganmu.
Denganmu, aku ingin mencintai tanpa alasan.
Karena alasan adalah binatang buas yang sewaktu-waktu bisa menerkam untuk aku
tak denganmu.
Dan akhirnya, hanya denganmu, aku ingin
membiarkan diriku menikmati hari tua. Kiranya nafasku hanya bersisa satu hela,
telah kutitipkan satu nafasku untukmu.
Denganmu, aku selalu bermula. Selain
denganmu, aku tak pernah sebaik ini dalam menjaga sebuah hati. Dan cerita ini
enggan aku akhiri. Mungkin akan ber-episode jika kuturuti untuk meneruskannya.
Mungkin, suatu saat juga, denganmu aku akan menulis beruda mengisahkan kisah
kita dengan dibumbui dramatisasi yang mendayu-dayu agar membuat pembacanya merasakan
sesak di dada bahkan menangis saat menahan rindu tapi tak ada yang bisa
dilakukan selain mendoakan. Seperti yang aku alami saat aku mengetik setiap
huruf yang menjadi kata kemudian kalimat lalu paragraf.
Pada hari yang biasa, aku telah selesai
berdoa. Baiknya kulukis lingkaran kecil dari rangkaian namamu dan namaku yang
akan aku sebut kita. Sepakat??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar