Minggu, 10 April 2016

Cahaya itu Bernama DA’I

“Plaaaak..!!!!” suara gamparan yang amat keras.  
“Kamu ini! Bentar lagi mau UN malah baca komik pas lagi jam pelajaran!”. U
cap seorang guru perempuan terhadap muridnya.
“Mana tugasnya? udah beres?!” Dengan nada yang lebih keras dan mata yang melotot, membuat siapun terdiam dan terpaku serta diam seribu bahasa.
“Ini bu…”. Ucap murid tersebut, sambil menyerahkan sebuah buku.
“Plaaaak…!!”. Buku tersebut dilemparkan persis didepan muka murid tersebut.
“Saya heran dengan kelakuan anak-anak zaman sekarang, mau ujian malah main-main, bacanya komik bukannya buku pelajaran, mau kau tak lulus, hah?! Mau jadi apa kalau kau tak lulus?!”
Bu Olam, itulah guru sejarah kami yang terkenal sangat disiplin dalam hal apapun, atau dapat dikatakan ialah satu-satunya guru yang tak semurid pun berani melawannya. Bahkan murid yang terkenal “Preman” di sekolah pun dibuat kapok oleh Bu Olam.
Entah mimpi apa aku semalam, saat itu sedang pelajaran sejarah, dan ada pesan dari KM kami bahwa bu Olam memberi tugas mengerjakan LKS karena sedang kurang sehat. Namun ternyata beliau memaksakan hadir meski dalam keadaan kurang sehat sekalipun yang tidak kami duga sebelumnya. Saat itu juga aku yang sedang membaca komik Detective Conan persis di depan meja guru dan tidak menyadari beliau hadir. Saat itulah bencana hadir yang membuatku untuk masuk ke ruang BP untuk yang kedua kalinya dalam 1 minggu. Sebelumnya aku pun memiliki masalah lain dengan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia namun dengan kasus bermain HP saat jam pelajaran beliau. 

“Perasaan baru kemaren kamu masuk BP.” Ucap Pak Dahlan, guru BP di sekolahku.
“Gatau nih Pak, makin mendekati UN makin bandel nih anak.” Ucap wali kelasku, Bu Rohati.
“Saya ga mau ambil pusing, saya serahkan ke Pak Dahlan aja mau diapain nih anak.” Ucap Bu Olam dengan wajah tidak peduli meninggalkan ruangan BP menyisakan aku, Pak Dahlan dan Bu Rohati di ruang BP.
“Udah minta maaf sama Bu Olam?” Ucap Pak Dahlan, aku balas menggeleng.
“Ya sudah begini saja, Bapak kasih kamu keringanan. Seharusnya kalau sudah begini, ortu kamu seharusnya menghadap ke Bu Rohati dan ke Bapak. Tapi kami kasih keringanan dengan menandatangani surat pernyataan akan berkelakuan baik. Jika melanggar lagi ga ada toleransi lagi. Kami langsung memanggil kedua ortu kamu, paham?”
 Tanpa menunggu waktu lama jelas aku mengangguk dan kembali ke kelas dengan wajah yang lesu, menanggung rasa malu yang sulit tergambarkan.
***
“Kalian wajib ikut LDK jurusan ya.” Ucap seorang lelaki memakai jaket biru bertuliskan “PRISMA” yang dikelilingi oleh gambar cahaya matahari berbentuk Oval, yang tak lain adalah kakak tingkatku di kampus, seorang ketua organisasi bernama Perhimpunan Remaja Islam Mushola Al-Kautsar atau disingkat “PRISMA”.
Aku dan satu-satunya teman laki-laki di kampus, kami berdua hanya mengangguk, karena di jurusan tempat kuliahku sekarang sangat minim laki-laki, angkatanku saja hanya dua ekor dan sangat kontras wujudnya. Aku berpostur “Kutilang” atau “KUrus TInggi LANGsing” sedangkan temanku satu lagi Fikri berpostur besar dan berisi. Jika lihat dia yang terbayang adalah makanan, karena memang doyan makan temanku ini. Maka tak heran jika kami diwajibkan ikut organisasi di kampus, karena makhluk terancam punah di jurusanku ini (baca : laki-laki) sangat dibutuhkan di organisasi, baik itu HIMA, maupun LDK Jurusan yaitu PRISMA. Bukan kedua organisasi itu saja yang berebut makhluk langka ini, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lain pun melakukan hal yang sama, membujuk agar aku dan Fikri masuk ke UKM mereka, sungguh kontras dengan kehidupanku saat SMA dulu yang suram, aku merasa seperti “dibutuhkan” di sini.

Satu hal yang baru di kehidupan kampus adalah masuk sebuah organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Baru pertama kali aku masuk organisasi keislaman seperti ini, semenjak masa pengenalan kampus telah usai, aku telah bertekad untuk mengikuti organisasi baik di jurusan maupun lingkungan kampus karena lelah dengan masa menyedihkan saat SMA dulu. Ingin mencoba sesuatu yang baru dan mencoba berorganisasi, organisasi yang menjadi tujuan utamaku sesungguhnya bernama “Hamasah Islam”, karena pikirku selain mendapat pengalaman organisasi, jika mengikuti LDK aku akan belajar banyak mengenai agamaku sendiri, Islam.

“Menjadi kader dakwah berarti menyebarkan ketauhidan, meninggikan asma Allah SWT, menghidupkan sunah Rasulullah SAW, mengajarkan kebaikan, mencegah kemungkaran, menyebarkan ajaran sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena sejatinya setiap muslim itu Da’i, ia wajib menyampaikan walau hanya satu ayat, tanpa memandang jabatan, pendidikan, status sosial, baik itu PNS, pegawai swasta, Buruh, Mahasiswa. Ingatlah bahwa tugas utama kita adalah seorang Da’i sebelum kalian melamar pekerjaan apapun ingatlah pekerjaan utama kalian adalah sebagai seorang Da’i, dan tentu saja tugas utama Da’i adalah mengajarkan ketauhidan dengan mengikuti tata cara dakwah sebaik-baiknya tuntunan kita yakni Rasulullah SAW, bukan dengan tajamnya pedang seorang da’i melawan. Namun dengan tajamnya pengetahuan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan dengan lisan yang menyayat hati ia mengingatkan namun dengan kelembutan yang berasal dari ayat suci Al-Qur’an, sungguh ini bukan pekerjaan mudah kawan, butuh seumur hidup yang kau korbankan untuk dakwah, butuh kontrak sepanjang hidup untuk menjadi seorang Da’i. Hanya ada 2 jalan resign menjadi seorang Da’i, yakni Murtad dan saat arwah tercabut dari jiwa raga ini, pekerjaan ini membutuhkan waktu hingga akhir hayat nanti, karena begitulah seorang Da’i bekerja, ia berorientasi bahwa waktu istirahatnya saat di akhirat kelak, di keabadian nanti seorang Da’i akan beristirahat, sedangkan di dunia yang singkat ini seorang Da’i akan terus bekerja untuk menghidupkan Api Tauhid di kehidupan di dunia ini, siap menanggung beban ini??”

Itulah pembukaan saat orientasi LDK di jurusanku oleh seorang pemateri, sungguh berat pekerjaan menjadi Da’i rupanya dan hal ini barulah gerbang awal diriku di perjalanan Dakwah, karena tantangan sesungguhnya berada di dunia luar sana. Apakah aku dapat terus berpegang teguh terhadap prinsip seorang “Da’i”?. Maka saat pemateri tersebut menanyakan “Apakah siap menanggung beban ini (sebagai Da’i)?”, tentu wajib ku katakan “Ya!” dengan lantang dan yakin kujawab pertanyaan itu, karena dunia kampus merupakan lahan dakwah awal aku menjalaninya, dan diluar lingkungan kampus nanti tantangannya sangat jauh berbeda dan lebih berat tentunya.

Tidak sedikit mereka yang terjun di dunia LDK sebatas hanya ikut-ikutan looh. Banyak juga nanti yang sudah lulus dan bekerja dan dulunya mereka aktif sebagai kader LDK, mereka akan dihadapi dengan tantangan menjaga prinsip seorang Da’i. biasanya akhwat (perempuan) yang sering menghadapi kasus semacam ini, ada kalanya peraturan di perusahaan tidak boleh berhijab, lalu dihadapkanlah salary yang menggiurkan, di sanalah tantangan seorang Da’i diuji, ah…. jika ada perusahaan yang menerapkan peraturan semacam itu, tentu seorang Da’i yang sebenar-benarnya Da’i akan menolak. Perintah Tuhannya saja berani ia langgar. Ada juga dalam dunia bekerja nanti, akan dihadapi dengan salah satu prinsip seorang Da’i yakni kejujuran, saat bekerja biasanya akan ada Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) yang rutin dilakukan setiap periode waktu tertentu. Di sinilah prinsip sebagai Da’i juga diuji agar tidak melebihkan atau mengurangi dana yang terpakai atau dana yang tersisa, jadi menjadi Da’i harus siap ditolak karena menjaga prinsip sebagai Da’i. Harus siap dibenci karena menegakkan kebenaran, harus siap mental untuk menghadapi kemungkaran yang begitu merajalela di akhir zaman seperti ini.

“Bahkan menjadi Da’i juga harus berkorban, sebagai contoh berkorban orang yang dicintainya, seperti yang dicontohkan dalam kisah ini : ada sepasang Ikhwan dan Akhwat yang akan melangsungkan janji suci sebuah pernikahan pada esok hari, seorang Ikhwan pun bertanya kepada akhwat calon istrinya.

Ikhwan              : “Apakah anti yakin menerima ana sebagai suami anti?”
Akhwat             : “Insyaa Allah yakin Akhi, mengapa antum bertanya seperti itu
saat H-1 seperti ini?”.
Ikhwan             : “Karena ada 1 hal yang belum ana ceritakan ke anti.”
Akhwat             : (Si akhwat mulai curiga ) “Apa itu Akh?”
Ikhwan          : “Maukah anti diduakan kelak saat berumah tangga? karena sungguh ana sudah terlebih dahulu jatuh cinta dengannya sebelum ana mengenal anti. Ana sudah banyak berkorban untuknya sebelum ana kenal anti, bahkan jika ia memanggil maka akan kudahulukan ia dibandingkan anti dan kutitipkan anak-anak dan seluruh harta kepada anti dan kujemput ia, bahkan jika anti meminta ana untuk melupakannya, maka hingga ajal menjemputpun aku tak akan rela berpisah dengannya, sekali lagi maukah anti diduakan kelak?”
Akhwat            : (Sambil menahan isak tangis) ”Mengapa baru sekarang antum cerita seperti ini Akhi?”
Ikhwan            : “Tahukah engkau siapa dia wahai calon istriku?”
Akhwat            : “Siapakah dia Akhi?”
Ikhwan            : “Dialah Dakwah, aku rela meninggalkanmu hanya dengan dakwah, aku hanya rela menduakanmu dengan dakwah, dan aku rela berkorban apapun untuk dakwah selain kepadamu, jadi masih yakin dengan ana sebagai calon suami anti? masih mau diduakan?”
Akhwat            : (Tersenyum lega dan mengangguk seyakin-yakinnya) “Tentu saja aku mau wahai calon imamku, aku rela diduakan dengan dakwah .“

Pemateri tersebut terus menyemangati kami agar yakin berada di jalan dakwah ini, meskipun tahu risiko apa yang akan kami terima, karena menjadi Da’i sesungguhnya menjadi Cahaya di gelapnya zaman, seperti Rasulullah SAW yang membawa zaman dari kegelapan kepada cahaya, itulah Da’i. Maka sekelam apapun masa laluku, aku selalu memiliki hari esok yang putih bersih, sehina apapun masa laluku, masa depan yang cerah masih menjadi hak diriku. Akan kutulis di lembaran-lembaran itu dengan hal yang lebih baik disini. Akan kuubah prinsip hidupku menjadi seorang Da’i. Semenjak itulah kutemukan cahaya di lingkungan ini yang menyadarkanku peran kami sebagai seorang manusia. Apapun profesi kita kelak, maka profesi paling utama kita sebagai manusia adalah sebagai Da’i, cahaya itu bernama Da’i.

Penulis :
Haidar Rizqi, lelaki kelahiran Tegal tahun 1993 yang dibesarkan di Bandung selama 22 tahun saat ini menjadi Mahasiswa AJ GIZI UNAIR 2015, sebelum di UNAIR kuliah di Poltekkes Bandung tapi pas wisuda gagal cumlaude, prestasinya selama kuliah dulu menjadi mahasiswa paling ganteng seangkatan di Poltekkes Bandung Jurusan Gizi karena ga ada laki-laki selain saya di angkatan, sekian wassalamu’alaikum wr wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar