Jumat, 24 Mei 2013

Muhasabah Cinta [ Taken from my real story :') ]



Biarlah aku menghentikan waktu di sini, di tengah-tengah kesibukan di atas kertas. Kami mengukir angka dan huruf di situ, mencari jejak kesanggupan kami menghadapi tantangan. Tantangan yang akan memberi bekal untuk kami melangkah selanjutnya. Apakah kami berhasil atau gagal adalah pilihannya di ujung sana.
Hari-hari berat kami selama satu minggu. Tak lama lagi setelah ini, nama kami terpampang di papan pengumuman sebagai lulusan sekolah ini SEBUAH SMA (bukan nama sebenarnya) salah satu sekolah terbaik di kota kami. Semoga aku melakukannya dengan hasil yang terbaik.
Aku baru memberitahukan tentang rencanaku kuliah di UNIVERSITAS KEHIDUPAN kepada Nana –sahabatku- (nama samaran) hari itu, di hari kelulusan kami. Sekolah masih hiruk-pikuk oleh kegembiraan para lulusan. Tak ada siswa yang tidak lulus. Nilaiku lumayan memuaskan. Alhamdulillah.
“Kenapa mendadak rencanamu berubah De?” Nana tentu saja kaget mendengar keputusanku itu. Karena sebelumnya aku telah berencana untuk kuliah di SEBUAH UNIVERSITAS (bukan nama sebenarnya). Makanya, aku tidak tega memberitahukan perubahan ini sejak kemarin. Tapi aku memang harus mengatakannya, meski aku akan lihat dia sekecewa ini. Dia telah mendapatkan kursi di SEBUAH UNIVERSITAS melalui SPMB jalur undangan.
“Entahlah Na. Kupikir itu rencana yang sangat baik untuk kuambil. Dan keluargaku juga telah memberikan restu. Ada budeku di kota Itu (bukan nama sebenarnya). Tapi tentu aku akan mencari rumah kos yang dekat dengan kampus, agar kegiatanku bisa lancar. Karena pasti aku tidak akan menjadi mahasiswa yang sekedar ngampus hehe. Maafkan aku jika ini mengecewakanmu.”
“Jadi kita tidak akan mengambil kuliah di kota yang sama? Wah, kalau gitu aku akan kehilangan kamu ya De? Tidak ada lagi ibu ketua keputrian Rohis yang selalu menceramahi aku?” Gadis cantik itu cemberut sedih. Baru aku lihat ia sangat berat atas keputusan yang aku buat.
“Kau tidak akan kehilangan aku Na. Lagi pula aku belum tentu lulus di sana.”
“Tidak, aku yakin kau lulus di sana.”
“Karena yang kupilih adalah Perguruan Tinggi Swasta?”
“Bukan, Karena kau pintar De. Itu sebabnya.”
“Kita akan segera menempuh jalan menuju kesuksesan kita masing-masing Na. Semoga Allah menyertai langkah-langkah kita, dan Dia tidak pernah meninggalkan kita.”  Aku memeluknya.
Sesampainya di rumah, aku segera mengurus persiapan untuk mendaftar di perguruan tinggi yang kupilih. Tiba-tiba HP-ku berderit, sms dari akhi Falah (nama samaran) –rekan seperjuanganku di Rohis-.
“Saya mendoakan semoga anti sukses dengan kuliah di UNIVERSITAS KEHIDUPAN. Terima kasih telah menjadi rekan terbaik saya selama ini. Saya berharap akan selamanya seperti ini hingga akhir hayat. Semoga Allah merahmati.”
Ah, Falah. Diam-diam penuh perhatian padaku. Aku tidak ingin salah paham dengan semua perhatiannya padaku. Kubalas message-nya. Kubalas dengan terimakasih yang sederhana, doa sukses yang sama, dan permohonan maafku jika selama berada di Rohis aku berbuat salah.
***
Aku mendapatkan UNIVERSITAS KEHIDUPAN. Perkuliahan pun dimulai. Aku masih tetap berkomunikasi dengan Nana. Jika dia tidak menelponku, aku pun menelponnya. Dia sering cerita tentang dunia kampusnya, bahkan cerita tentang cowok di kampusnya. Ah Nana, kapan kau akan berubah?
“De, aku lagi dekat sama cowok. Namanya Zidan (nama samaran), dia baik. Kita sering berangkat ke kampus bareng. Tapi kita nggak pacaran.” Dia menceritakan dengan sangat antusias.
“Nggak pacaran tapi sering berboncengan, apa bedanya honey?” sahutku.
“Dia baik De, makanya dia nggak mau pacaran.”
“Kalau dia baik, dia tidak akan melakukan itu padamu. Mungkin berboncengan menurutmu –menurut mereka- adalah hal yang biasa. Berboncengan dengan lelaki bagi mereka merupakan hal yang biasa. Mereka bisa melakukannya dengan pacar atau pun bukan. Tapi bagiku itu adalah hal yang luar biasa. Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal itu kecuali bersama ayahku dan saudara mahramku. Ayolah, putuskan hubungan kalian itu.”
“Tapi aku terlanjur sayang sama dia De.”
“Heeemmmm.”
“Ah kamu, yaudah deh. Setidaknya aku lega telah menceritakan semuanya padamu. Kamu gimana De?” tanyanya.
“Aku? Aku belum ada planning buat menikah Na.” jawabku.
“Yee, siapa yang menyuruhmu menikah sayang? Aku Cuma pengen sahabatku punya kecengan gitu. Hehe” Godanya.
“Harus berapa kali aku jelaskan padamu, bahwa tidak ada konsep pacaran dalam Islam. Dan aku menganut itu.”
Nana hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sebenarnya dia sudah tahu tentang prinsipku ini. Dan sepertinya dia butuh waktu untuk ‘perubahan’ itu. Namun aku jadi penasaran dengan cowok yang sedang dekat dengannya itu. Tidak biasanya aku seperti ini, kalau biasanya aku cuek dengan hal-hal berbau VMJ gini.
Sepertinya Nana mengetahui apa yang ada di pikiranku, dia pun memberitahuku siapa yang dekat dengannya itu. Aku dan Zidan –teman Nana- berteman, walaupun hanya di jejaring sosial.
Zidan tahu bahwa aku adalah sahabat Nana dari SMA. Awalnya kita berkomunikasi hanya sekedar membahas tentang Nana. Dari sinilah aku mempunyai keinginan untuk merubahnya, aku yakin Zidan pasti bisa. Karena basic-nya, dia adalah orang yang hanif. Dan kita mulai sering berkomunikasi. Ini menjadikan niatku untuk merubahnya jadi lebih mudah.
***
Aku mulai mengompor-ngompori Zidan untuk menyibukkan dirinya mengikuti organisasi bernafaskan Islami di kampus, aku menitipkan dia pada teman ikhwanku dan kenalanku yang kuliah di SEBUAH UNIVERSITAS agar dia bisa mengikuti halaqoh atau liqo. Alhamdulillah semua berjalan sesuai yang diinginkan. Sudah lama dia tidak berboncengan lagi dengan Nana, dan cara bergaul dengan lawan jenis pun sudah bisa terkondisikan. Sejak saat itu, aku memohon petunjuk pada Allah agar selalu meluruskan niatku untuk mengajaknya pada perubahan yang dia dambakan. Aku bersumpah dalam hati dan selalu memohon petunjuk pada Allah agar Ia selalu menunjukkan perlindunganNya padaku, padanya. Anugerah terindah bisa membawa teman kejalan yang lebih baik.
Tiba-tiba HP-ku berdering. Telpon dari mbak Indah (nama samaran).
“Assalamu’alaikum, De, pulang kapan? Ada kabar baik nih. Tapi ini menurut mbak, ndak tahu menurutmu.”
“Apa mbak? InsyaAllah pekan ini De pulang.”
“Oke, baguslah kalo begitu. Kabarnya disampaikan kalau kamu pulang aja ya sayang. Assalamu’alaikum.” Huh, jail sekali kakakku yang satu ini.
Pekan ini banyak sekali tugas kuliah yang harus segera diselesaikan. Alhamdulillah semua bisa terselesaikan. Ba’da dhuhur ini pulang ke Kota Asal (bukan nama sebenarnya). Aku penasaran dengan kabar itu. Tentang komunikasiku dengan Zidan, dia masih sering mengirim pesan padaku sekedar mendiskusikan apa yang perlu untuk didiskusikan.
***
Sampai di rumah langsung kucium punggung tangan ibu, bapak, dan kakak-kakakku. Namun sosok yang kucari yang membuatku penasaran tak terlihat batang hidungnya. Sepertinya dia sedang ngisi kajian di Rohis SEKOLAH MENENGAH yang dia pegang. Aku teringat agenda mabit yang rutin diadakan ditempatnya mengajar.
Dua jam kemudian, sosok yang aku cari muncul.
“Mbak, kabar apaan sih? De penasaran nih.” ucapku.
“Sudah siap nih?” godanya. Kakakku yang satu ini memang hobi banget ngejailin adik bungsunya.
“Ya sudah kalau nggak mau ngasih tau.” Ngambekku.
“Eh, jangan pergi dulu sayang. Nih buatmu.” sambil menyodorkan map yang tidak kuketahui isinya. Ku buka map itu. Bagaikan diserang gempa yang besar namun ku tak merasakannya. Proposal ta’aruf untukku? Dari teman Rohisku, Falah. Sosok yang kuhomati, rekan satu organisasi yang begitu perhatian padaku.
“Kamu jangan terburu-buru mengambil keputusan. Kamu butuh istikharoh untuk ini De. Aku yakin ilmu kamu tentang munakahat sudah cukup sebagai bekalmu.” Ucapnya penuh keyakinan.
“Tapi, De baru mahasiswa semester rendah. Apakah ini sudah waktunya? Tapi...” Percakapan berlalu ketika HP mbak Indah berdering. Aku pun termangu sendiri dengan beberapa lembar kertas di depanku ini.
***
Sebulan berlalu semenjak tragedi mengagetkan itu. Aku sudah mendapatkan jawaban dari istikharohku itu. Tapi justru itu membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan ketika satu bagian di hatiku retak menjadi dua bagian. Apakah salah jika aku berharap terlalu tinggi? Seperti pungguk yang merindukan bulan adanya.
Ada satu bulan lainnya yang sebenarnya sangat kuhormati. Dia sosok yang baru kukenal namun belum pernah kutemui. Aku mengenalnya melalui sahabatku. Dia yang memiliki semangat yang tinggi untuk memperbaiki dirinya. Sosok laki-laki yang sedang berusaha memperbaiki dirinya.
Setelah isikharah pertama, aku menginginkan bulan yang memintaku itu –Falah-. Setelah istikharah kedua, sepertinya aku ditunjukkan kepada Zidan. Istikharah yang ketiga, pilihanku tetap dihadapkan padanya. Aku hampir mati memikirkan caranya. Aku tahu jika aku harus megambil keputusan segera. Aku harus tetapkan hatiku untuk memutuskannya, tapi aku takut jika keputusanku akan mengecewakan.
HP-ku berderit. Namun kuabaikan itu.
Ku ceritakan tentang hasil dari istikharahku itu kepada mbak Indah.
“Kenapa kau tidak memantapkan pada mimpi yang terakhir itu?” tanyanya.
“Tetapi dia belum memintaku mbak.”
“Kalau begitu, mungkin mimpi itu pertanda bahwa untuk saat ini Falah bukanlah jodohmu De.”
“Apa dia akan kecewa mendengar keputusanku ini?” Aku takut mengecewakan jika harus memutuskan ini.
“Falah adalah orang yang bijaksana De. InsyaAllah dia mengerti akan keputusan yang kau buat ini.”
“Aamiin, semoga. Terimakasih mbak.”
“Sama-sama sayang, mungkin besok lusa dia akan mengetahui tentang hal ini.”
Deg, maafkan aku. Aku yakin kamu akan mengerti tentang keputusan ini. Satu bebanku telah terselesaikan. Namun, tentang mimpi kedua dan ketiga? Oh Allah, kenapa rasa lega tak pernah bertahan lama di benakku. Astagfirullah. Aku teringat HP-ku yang berderit tadi. Kubuka, ada 2 pesan disana dan semuanya dari Zidan dengan isi yang sama. Tak tahu mengapa hatiku jadi berdetak lebih cepat. Oh Allah, masihkan aku istiqomah??!
“Ukhti, jadi konsultasi nggak? hehe”
Oyaa, aku teringat kalau akan cerita dengannya. Zidan adalah mahasiswa satu jurusan dengan sahabatku, Nana. Oh Allah, haruskah aku ceritakan semua itu kepadanya? Entah mengapa setan di sekitarku mendorongku untuk itu. Akhirnya aku pun mulai cerita padanya melalui message.
“sekitar satu bulan yang lalu, aku mendapat proposal ta’aruf dari teman Rohisku semasa SMA. Aku kaget, bingung, nggak tahu harus gimana. Jadi kuputuskan meminta waktu selama satu bulan untuk mempertimbangkan dengan solat istikharah. Setelah isikharah pertama, aku menginginkan bulan yang memintaku itu –teman Rohisku-. Setelah istikharah kedua, sepertinya aku ditunjukkan kepada temanku yang sebelumnya belum pernah bertemu. Istikharah yang ketiga, pilihanku tetap dihadapkan pada sosok yang di mimpi kedua itu. Aku bingung kenapa dia bisa hadir dalam istikharahku, dan aku yakin bahwa itu dia, sedangkan kita belum pernah bertemu. Oh Allah :(”
Sebelum ku kirim pesan itu, berulang kali ku membacanya. Dan proses sending pun sukses. Lagi-lagi aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan.
“Belum pernah ketemu tapi anti yakin bahwa dia adalah teman anti yang belum pernah ketemu itu?? Memang siapa dia ukht? hehe. Mungkin mimpi itu bertanda bahwa anti jangan dulu menerima teman Rohis anti. Mungkin juga di mimpi yang kedua dan ketiga itu adalah orang yang anti kira dan perwakilan dari jodoh anti.”
Entah kenapa aku tersenyum membaca balasan pesan darinya. Apa karena aku terlanjur berharap padanya? Oh Allah, lihatlah. Aku bahkan berubah menjadi sangat tidak prinsipil. Masihkan aku istiqomah?!
“Akhi tahu siapa yang dalam mimpi itu?”
“Kok malah tanya aku ukht? Kalau dilamar jangan lupa kabari aku ya. hehe”  ku abaikan pesan itu. Kemudian ada pesan berikutnya, masih dari pengirim sebelumnya, Zidan. Mungkin karena aku abaikan pesan yang dia kirim sebelumnya.
“Ukhti, kok diam.”
“Ukhti, maafkan aku jika aku membuatmu menjadi seperti ini. Setidaknya belum untuk saat ini ukht. Aku masih mau memperbaiki diri dulu agar bisa menjadi imam yang baik nantinya. Ini menjadi beban buatku, bahkan buat kita berdua. Aku merasa sangat bersalah jika ukhti menolak banyak ikhwan yang baik hanya demi menungguku yang belum ada kepastian. :( “  Aku terdiam membaca pesan itu.
“Entahlah akh, ini memang sudah menjadi bebanku sejak kualami mimpi itu. Aku bingung, takut.”
“ukhti, untuk apa kita bingung dan takut. Kalau kita ditakdirkan bersama pasti Allah akan mempersatukan kita. Tapi kenapa ukhti yakin kalau dimimpi itu aku? Padahalkan kita belum pernah ketemu hehe.” Kucukupkan komunikasi kita di hari itu.
Setelah kejadian itu, aku dan dia –Zidan- berkomunikasi seperti biasa. Namun dengan beban hatiku yang berbeda, dengan sebuah harapan yang berbeda. Tiga menit di malam yang panjang untukmu setiap kubermunajat pada-Nya, dalam diamku. Oh Allah, Engkau Maha Tahu akan setiap hamba-Mu.
Itulah adanya aku yang tak pernah kuasa mengatur hatiku, karena Sang Pemilikku yang telah menentukannya. Aku yang hanya kau lihat sebuah raga, sedangkan hatiku sepenuhnya adalah milik-Nya.
Ukhti, tetaplah menjadi mutiara yang bersinar. Kita tidak tahu siapa yang akan ditakdirkan bersama kita. Bersabarlah menanti saat itu tiba. Percayalah, semua akan indah pada waktunya. Yang sekarang harus kita lakukan adalah teruslah menjadi pribadi yang baik, teruslah memperbaiki diri kita. Karena jodoh kita tidak jauh dari siapa diri kita. ^_^.Pesan itu selalu kuingat.


Orang beriman selalu mendapatkan ujian. Seseorang tidak dikatakan beriman sebelum mendapatkan  ujian. Bagiku, inilah ujianku, kaulah ujianku. Aku tau, perkenalan kita adalah sebuah takdir Sang Maha Kuasa. Kehadiranmu memang mampu memberikan sebuah warna dan harapan. Sungguh itulah yang membuatku tersiksa. Bukan aku tak mampu menghargai apa yang kurasa. Tapi, sungguh bukankah aku akan gagal mempertahankan hatiku? Oh Allah, tabahkanlah hatiku menjalani ujian-Mu ketika Engkau hadirkan ia pada waktu yang ‘belum’ tepat untukku. Ya setidaknya belum untuk sekarang ini.
Tersandung duka, Bunda. Aku memeluk apa. Aku mereguk apa. Desahku hanya daun-daun yang luruh jatuh. Marahku terbentur pada tulus yang ingin kubendung dengan bola lampu yang terang. Aku ingin nyalakan lampu itu di hatiku yang kini terketuk bencana. Aku ingin sandungku ini tak lain karena ingin memelukNya nanti di sana. Biar mereguk nikmat terpetik dari duri yang di baliknya ada sepenuh pahala. Pahala yang berlebih kadarnya agar terkatup jua dosaku.
Oh Allah, sungguh ikhlas itu, berikanlah kepadaku. Sungguh sabar itu, anugerahkanlah di hatiku, sungguh kesucian itu, kembalikanlah kedalam jiwaku-jiwa kami-. Jangan biarkan kami tersesat setelah lama berkasih sayang dengan-Mu. Pertahankan kesucian jiwa, hati, dan pikiran kami. Ampunilah setiap dosa dan ketidaksabaran kami, ketidakikhlasan kami, ketidakberdayaan kami. Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar