Biarlah
aku menghentikan waktu di sini, di tengah-tengah kesibukan di atas kertas. Kami
mengukir angka dan huruf di situ, mencari jejak kesanggupan kami menghadapi
tantangan. Tantangan yang akan memberi bekal untuk kami melangkah selanjutnya.
Apakah kami berhasil atau gagal adalah pilihannya di ujung sana.
Hari-hari
berat kami selama satu minggu. Tak lama lagi setelah ini, nama kami terpampang
di papan pengumuman sebagai lulusan sekolah ini SEBUAH SMA (bukan nama
sebenarnya) salah satu sekolah terbaik di kota kami. Semoga aku melakukannya
dengan hasil yang terbaik.
Aku
baru memberitahukan tentang rencanaku kuliah di UNIVERSITAS KEHIDUPAN kepada Nana
–sahabatku- (nama samaran) hari itu, di hari kelulusan kami. Sekolah masih
hiruk-pikuk oleh kegembiraan para lulusan. Tak ada siswa yang tidak lulus.
Nilaiku lumayan memuaskan. Alhamdulillah.
“Kenapa
mendadak rencanamu berubah De?” Nana tentu saja kaget mendengar keputusanku
itu. Karena sebelumnya aku telah berencana untuk kuliah di SEBUAH UNIVERSITAS
(bukan nama sebenarnya). Makanya, aku tidak tega memberitahukan perubahan ini
sejak kemarin. Tapi aku memang harus mengatakannya, meski aku akan lihat dia
sekecewa ini. Dia telah mendapatkan kursi di SEBUAH UNIVERSITAS melalui SPMB
jalur undangan.
“Entahlah
Na. Kupikir itu rencana yang sangat baik untuk kuambil. Dan keluargaku juga
telah memberikan restu. Ada budeku di kota Itu (bukan nama sebenarnya). Tapi
tentu aku akan mencari rumah kos yang dekat dengan kampus, agar kegiatanku bisa
lancar. Karena pasti aku tidak akan menjadi mahasiswa yang sekedar ngampus
hehe. Maafkan aku jika ini mengecewakanmu.”
“Jadi
kita tidak akan mengambil kuliah di kota yang sama? Wah, kalau gitu aku akan
kehilangan kamu ya De? Tidak ada lagi ibu ketua keputrian Rohis yang selalu
menceramahi aku?” Gadis cantik itu cemberut sedih. Baru aku lihat ia sangat
berat atas keputusan yang aku buat.
“Kau
tidak akan kehilangan aku Na. Lagi pula aku belum tentu lulus di sana.”
“Tidak,
aku yakin kau lulus di sana.”
“Karena
yang kupilih adalah Perguruan Tinggi Swasta?”
“Bukan,
Karena kau pintar De. Itu sebabnya.”
“Kita
akan segera menempuh jalan menuju kesuksesan kita masing-masing Na. Semoga
Allah menyertai langkah-langkah kita, dan Dia tidak pernah meninggalkan kita.” Aku memeluknya.
Sesampainya
di rumah, aku segera mengurus persiapan untuk mendaftar di perguruan tinggi
yang kupilih. Tiba-tiba HP-ku berderit, sms dari akhi Falah (nama samaran) –rekan seperjuanganku di Rohis-.
“Saya mendoakan semoga anti
sukses dengan kuliah di UNIVERSITAS KEHIDUPAN. Terima kasih telah menjadi rekan
terbaik saya selama ini. Saya berharap akan selamanya seperti ini hingga akhir
hayat. Semoga Allah merahmati.”
Ah,
Falah. Diam-diam penuh perhatian padaku. Aku tidak ingin salah paham dengan
semua perhatiannya padaku. Kubalas message-nya.
Kubalas dengan terimakasih yang sederhana, doa sukses yang sama, dan permohonan
maafku jika selama berada di Rohis aku berbuat salah.
***
Aku
mendapatkan UNIVERSITAS KEHIDUPAN. Perkuliahan pun dimulai. Aku masih tetap
berkomunikasi dengan Nana. Jika dia tidak menelponku, aku pun menelponnya. Dia
sering cerita tentang dunia kampusnya, bahkan cerita tentang cowok di
kampusnya. Ah Nana, kapan kau akan berubah?
“De,
aku lagi dekat sama cowok. Namanya Zidan (nama samaran), dia baik. Kita sering
berangkat ke kampus bareng. Tapi kita nggak pacaran.” Dia menceritakan dengan
sangat antusias.
“Nggak
pacaran tapi sering berboncengan, apa bedanya honey?” sahutku.
“Dia
baik De, makanya dia nggak mau pacaran.”
“Kalau
dia baik, dia tidak akan melakukan itu padamu. Mungkin berboncengan menurutmu
–menurut mereka- adalah hal yang biasa. Berboncengan dengan lelaki bagi mereka merupakan
hal yang biasa. Mereka bisa melakukannya dengan pacar atau pun bukan. Tapi bagiku
itu adalah hal yang luar biasa. Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal
itu kecuali bersama ayahku dan saudara mahramku. Ayolah, putuskan hubungan
kalian itu.”
“Tapi
aku terlanjur sayang sama dia De.”
“Heeemmmm.”
“Ah
kamu, yaudah deh. Setidaknya aku lega telah menceritakan semuanya padamu. Kamu
gimana De?” tanyanya.
“Aku?
Aku belum ada planning buat menikah Na.”
jawabku.
“Yee,
siapa yang menyuruhmu menikah sayang? Aku Cuma pengen sahabatku punya kecengan
gitu. Hehe” Godanya.
“Harus
berapa kali aku jelaskan padamu, bahwa tidak ada konsep pacaran dalam Islam.
Dan aku menganut itu.”
Nana
hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sebenarnya dia sudah tahu tentang prinsipku
ini. Dan sepertinya dia butuh waktu untuk ‘perubahan’ itu. Namun aku jadi
penasaran dengan cowok yang sedang dekat dengannya itu. Tidak biasanya aku
seperti ini, kalau biasanya aku cuek dengan hal-hal berbau VMJ gini.
Sepertinya
Nana mengetahui apa yang ada di pikiranku, dia pun memberitahuku siapa yang
dekat dengannya itu. Aku dan Zidan –teman Nana- berteman, walaupun hanya di jejaring
sosial.
Zidan
tahu bahwa aku adalah sahabat Nana dari SMA. Awalnya kita berkomunikasi hanya
sekedar membahas tentang Nana. Dari sinilah aku mempunyai keinginan untuk
merubahnya, aku yakin Zidan pasti bisa. Karena basic-nya, dia adalah orang yang hanif. Dan kita mulai sering berkomunikasi. Ini menjadikan niatku
untuk merubahnya jadi lebih mudah.
***
Aku
mulai mengompor-ngompori Zidan untuk menyibukkan dirinya mengikuti organisasi
bernafaskan Islami di kampus, aku menitipkan dia pada teman ikhwanku dan
kenalanku yang kuliah di SEBUAH UNIVERSITAS agar dia bisa mengikuti halaqoh
atau liqo. Alhamdulillah semua berjalan sesuai yang diinginkan. Sudah
lama dia tidak berboncengan lagi dengan Nana, dan cara bergaul dengan lawan
jenis pun sudah bisa terkondisikan. Sejak saat itu, aku memohon petunjuk pada
Allah agar selalu meluruskan niatku untuk mengajaknya pada perubahan yang dia
dambakan. Aku bersumpah dalam hati dan selalu memohon petunjuk pada Allah agar
Ia selalu menunjukkan perlindunganNya padaku, padanya. Anugerah terindah bisa
membawa teman kejalan yang lebih baik.
Tiba-tiba
HP-ku berdering. Telpon dari mbak Indah (nama samaran).
“Assalamu’alaikum,
De, pulang kapan? Ada kabar baik nih. Tapi ini menurut mbak, ndak tahu
menurutmu.”
“Apa
mbak? InsyaAllah pekan ini De pulang.”
“Oke,
baguslah kalo begitu. Kabarnya disampaikan kalau kamu pulang aja ya sayang.
Assalamu’alaikum.” Huh, jail sekali kakakku yang satu ini.
Pekan
ini banyak sekali tugas kuliah yang harus segera diselesaikan. Alhamdulillah
semua bisa terselesaikan. Ba’da dhuhur ini pulang ke Kota Asal (bukan nama
sebenarnya). Aku penasaran dengan kabar itu. Tentang komunikasiku dengan Zidan,
dia masih sering mengirim pesan padaku sekedar mendiskusikan apa yang perlu
untuk didiskusikan.
***
Sampai
di rumah langsung kucium punggung tangan ibu, bapak, dan kakak-kakakku. Namun
sosok yang kucari yang membuatku penasaran tak terlihat batang hidungnya.
Sepertinya dia sedang ngisi kajian di Rohis SEKOLAH MENENGAH yang dia pegang.
Aku teringat agenda mabit yang rutin diadakan ditempatnya mengajar.
Dua
jam kemudian, sosok yang aku cari muncul.
“Mbak,
kabar apaan sih? De penasaran nih.” ucapku.
“Sudah
siap nih?” godanya. Kakakku yang satu ini memang hobi banget ngejailin adik
bungsunya.
“Ya
sudah kalau nggak mau ngasih tau.” Ngambekku.
“Eh,
jangan pergi dulu sayang. Nih buatmu.” sambil menyodorkan map yang tidak
kuketahui isinya. Ku buka map itu. Bagaikan diserang gempa yang besar namun ku
tak merasakannya. Proposal ta’aruf untukku? Dari teman Rohisku, Falah. Sosok yang
kuhomati, rekan satu organisasi yang begitu perhatian padaku.
“Kamu
jangan terburu-buru mengambil keputusan. Kamu butuh istikharoh untuk ini De.
Aku yakin ilmu kamu tentang munakahat sudah cukup sebagai bekalmu.” Ucapnya
penuh keyakinan.
“Tapi,
De baru mahasiswa semester rendah. Apakah ini sudah waktunya? Tapi...”
Percakapan berlalu ketika HP mbak Indah berdering. Aku pun termangu sendiri
dengan beberapa lembar kertas di depanku ini.
***
Sebulan
berlalu semenjak tragedi mengagetkan itu. Aku sudah mendapatkan jawaban dari
istikharohku itu. Tapi justru itu membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan
ketika satu bagian di hatiku retak menjadi dua bagian. Apakah salah jika aku
berharap terlalu tinggi? Seperti pungguk yang merindukan bulan adanya.
Ada
satu bulan lainnya yang sebenarnya sangat kuhormati. Dia sosok yang baru
kukenal namun belum pernah kutemui. Aku mengenalnya melalui sahabatku. Dia yang
memiliki semangat yang tinggi untuk memperbaiki dirinya. Sosok laki-laki yang
sedang berusaha memperbaiki dirinya.
Setelah
isikharah pertama, aku menginginkan bulan yang memintaku itu –Falah-. Setelah
istikharah kedua, sepertinya aku ditunjukkan kepada Zidan. Istikharah yang
ketiga, pilihanku tetap dihadapkan padanya. Aku hampir mati memikirkan caranya.
Aku tahu jika aku harus megambil keputusan segera. Aku harus tetapkan hatiku
untuk memutuskannya, tapi aku takut jika keputusanku akan mengecewakan.
HP-ku
berderit. Namun kuabaikan itu.
Ku
ceritakan tentang hasil dari istikharahku itu kepada mbak Indah.
“Kenapa
kau tidak memantapkan pada mimpi yang terakhir itu?” tanyanya.
“Tetapi
dia belum memintaku mbak.”
“Kalau
begitu, mungkin mimpi itu pertanda bahwa untuk saat ini Falah bukanlah jodohmu
De.”
“Apa
dia akan kecewa mendengar keputusanku ini?” Aku takut mengecewakan jika harus
memutuskan ini.
“Falah
adalah orang yang bijaksana De. InsyaAllah dia mengerti akan keputusan yang kau
buat ini.”
“Aamiin,
semoga. Terimakasih mbak.”
“Sama-sama
sayang, mungkin besok lusa dia akan mengetahui tentang hal ini.”
Deg,
maafkan aku. Aku yakin kamu akan mengerti tentang keputusan ini. Satu bebanku
telah terselesaikan. Namun, tentang mimpi kedua dan ketiga? Oh Allah, kenapa
rasa lega tak pernah bertahan lama di benakku. Astagfirullah. Aku teringat HP-ku yang berderit tadi. Kubuka, ada 2
pesan disana dan semuanya dari Zidan dengan isi yang sama. Tak tahu mengapa
hatiku jadi berdetak lebih cepat. Oh Allah, masihkan aku istiqomah??!
“Ukhti, jadi konsultasi
nggak? hehe”
Oyaa,
aku teringat kalau akan cerita dengannya. Zidan adalah mahasiswa satu jurusan
dengan sahabatku, Nana. Oh Allah, haruskah aku ceritakan semua itu kepadanya?
Entah mengapa setan di sekitarku mendorongku untuk itu. Akhirnya aku pun mulai
cerita padanya melalui message.
“sekitar satu bulan yang
lalu, aku mendapat proposal ta’aruf dari teman Rohisku semasa SMA. Aku kaget,
bingung, nggak tahu harus gimana. Jadi kuputuskan meminta waktu selama satu
bulan untuk mempertimbangkan dengan solat istikharah. Setelah isikharah
pertama, aku menginginkan bulan yang memintaku itu –teman Rohisku-. Setelah
istikharah kedua, sepertinya aku ditunjukkan kepada temanku yang sebelumnya
belum pernah bertemu. Istikharah yang ketiga, pilihanku tetap dihadapkan pada
sosok yang di mimpi kedua itu. Aku bingung kenapa dia bisa hadir dalam
istikharahku, dan aku yakin bahwa itu dia, sedangkan kita belum pernah bertemu.
Oh Allah :(”
Sebelum
ku kirim pesan itu, berulang kali ku membacanya. Dan proses sending pun sukses. Lagi-lagi aku
menyesal atas apa yang telah aku lakukan.
“Belum pernah ketemu tapi
anti yakin bahwa dia adalah teman anti yang belum pernah ketemu itu?? Memang
siapa dia ukht? hehe. Mungkin mimpi itu bertanda bahwa anti jangan dulu
menerima teman Rohis anti. Mungkin juga di mimpi yang kedua dan ketiga itu
adalah orang yang anti kira dan perwakilan dari jodoh anti.”
Entah
kenapa aku tersenyum membaca balasan pesan darinya. Apa karena aku terlanjur
berharap padanya? Oh Allah, lihatlah. Aku bahkan berubah menjadi sangat tidak
prinsipil. Masihkan aku istiqomah?!
“Akhi tahu siapa yang dalam
mimpi itu?”
“Kok malah tanya aku ukht?
Kalau dilamar jangan lupa kabari aku ya. hehe” ku abaikan pesan itu. Kemudian ada pesan
berikutnya, masih dari pengirim sebelumnya, Zidan. Mungkin karena aku abaikan
pesan yang dia kirim sebelumnya.
“Ukhti, kok diam.”
“Ukhti, maafkan aku jika
aku membuatmu menjadi seperti ini. Setidaknya belum untuk saat ini ukht. Aku
masih mau memperbaiki diri dulu agar bisa menjadi imam yang baik nantinya. Ini
menjadi beban buatku, bahkan buat kita berdua. Aku merasa sangat bersalah jika
ukhti menolak banyak ikhwan yang baik hanya demi menungguku yang belum ada
kepastian. :( “ Aku
terdiam membaca pesan itu.
“Entahlah akh, ini memang
sudah menjadi bebanku sejak kualami mimpi itu. Aku bingung, takut.”
“ukhti, untuk apa kita
bingung dan takut. Kalau kita ditakdirkan bersama pasti Allah akan
mempersatukan kita. Tapi kenapa ukhti yakin kalau dimimpi itu aku? Padahalkan kita
belum pernah ketemu hehe.” Kucukupkan komunikasi kita di hari itu.
Setelah
kejadian itu, aku dan dia –Zidan- berkomunikasi seperti biasa. Namun dengan
beban hatiku yang berbeda, dengan sebuah harapan yang berbeda. Tiga menit di
malam yang panjang untukmu setiap kubermunajat pada-Nya, dalam diamku. Oh
Allah, Engkau Maha Tahu akan setiap hamba-Mu.
Itulah
adanya aku yang tak pernah kuasa mengatur hatiku, karena Sang Pemilikku yang
telah menentukannya. Aku yang hanya kau lihat sebuah raga, sedangkan hatiku
sepenuhnya adalah milik-Nya.
Ukhti, tetaplah menjadi mutiara yang
bersinar. Kita tidak tahu siapa yang akan ditakdirkan bersama kita. Bersabarlah
menanti saat itu tiba. Percayalah, semua akan indah pada waktunya. Yang sekarang
harus kita lakukan adalah teruslah menjadi pribadi yang baik, teruslah
memperbaiki diri kita. Karena jodoh kita tidak jauh dari siapa diri kita. ^_^.Pesan
itu selalu kuingat.
Orang beriman selalu mendapatkan ujian. Seseorang
tidak dikatakan beriman sebelum mendapatkan
ujian. Bagiku, inilah ujianku, kaulah ujianku. Aku tau, perkenalan kita
adalah sebuah takdir Sang Maha Kuasa. Kehadiranmu memang mampu memberikan
sebuah warna dan harapan. Sungguh itulah yang membuatku tersiksa. Bukan aku tak
mampu menghargai apa yang kurasa. Tapi, sungguh bukankah aku akan gagal
mempertahankan hatiku? Oh Allah, tabahkanlah hatiku menjalani ujian-Mu ketika
Engkau hadirkan ia pada waktu yang ‘belum’ tepat untukku. Ya setidaknya belum
untuk sekarang ini.
Tersandung duka, Bunda. Aku memeluk apa. Aku
mereguk apa. Desahku hanya daun-daun yang luruh jatuh. Marahku terbentur pada
tulus yang ingin kubendung dengan bola lampu yang terang. Aku ingin nyalakan
lampu itu di hatiku yang kini terketuk bencana. Aku ingin sandungku ini tak
lain karena ingin memelukNya nanti di sana. Biar mereguk nikmat terpetik dari
duri yang di baliknya ada sepenuh pahala. Pahala yang berlebih kadarnya agar
terkatup jua dosaku.
Oh
Allah, sungguh ikhlas itu, berikanlah kepadaku. Sungguh sabar itu,
anugerahkanlah di hatiku, sungguh kesucian itu, kembalikanlah kedalam
jiwaku-jiwa kami-. Jangan biarkan kami tersesat setelah lama berkasih sayang
dengan-Mu. Pertahankan kesucian jiwa, hati, dan pikiran kami. Ampunilah setiap
dosa dan ketidaksabaran kami, ketidakikhlasan kami, ketidakberdayaan
kami. Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar